Sang Pejuang
“Ngeeeek....ngeeek....” terdengar suara pintu yang perlahan
dibuka oleh tangan tua. Tangan itu sudah tak kokoh lagi, terlalu banyak kisah
yang terukir membuat keriput balutan tulang. Terdengar juga sayup-sayup suara
burung yang kadang hinggap di atap gubuk itu dan kemudian terbang entah kemana.
Di keadaan yang sudah teramat renta ini, Saron, seorang lelaki tua dengan
tertatih meraih sebuah kayu dengan lempengan logam diujungnya demi menyambung
sisa-sisa hidupnya. Terlihat dengan jelas bekas perjuangan yang terlukis di
setiap lekuk dahinya.
Hanyalah sepetak lahan dengan ukuran yang sangat kecil,
lahan dimana ia mengais rejeki. Tanpa ada penyesalan dalam dirinya, namun
itulah sebuah perjuangan, perjuangan hidup yang harus ia jalani. Satu per satu
ia tanam batang pohon singkong itu. Hingga matahari sudah akan bertengger tepat
di atas kepalanya pun ia masih berada di lahan itu.
“Kek... Kek!” terdengar suara dari seorang pemuda gagah
menghampirinya. Itulah Hadi, mahasiswa salah satu universitas ternama yang
sering mengantar makanan untuk Saron setiap ia pulang ke kampung halaman.
“Kek, ini Hadi bawakan makanan untuk kakek. Kakek
beristirahatlah dulu.” Kata Hadi dengan pelan, meskipun Saron sudah teramat tua
namun pendengarannya masih sangat jelas.
“Wah Nak Hadi sudah pulang? Pasti selalu repot-repot bawakan
makanan untuk kakek.” jawab Saron.
“Tidak apa-apa Kek, hanya sekedar makanan untuk
menghilangkan lapar.” Kata Hadi.
“Terima kasih Nak Hadi, mari kita berteduh ke gubuk kakek
saja, disini terlalu panas.” ajak Saron.
“Iya Kek.” jawab Hadi sambil perlahan ia menuntun Saron
menuju ke rumah yang sudah setua Saron.
Setelah sampai Saron dan Hadi duduk di serambi depan. Saron
pun memakan makanan yang dibawakan Hadi.
“Ayo Nak Hadi ikut makan.” Ajak Saron.
“Tidak Kek, kakek saja, Hadi sudah makan.”jawab Hadi.
Hadi menemani Saron makan sambil melihat ke arah dinding. Ia
melihat sebuah senjata api dan sebuah clurit yang tergantung.
“Kek itu senjata Kakek?” tanya Hadi.
“Oowh senapan itu. Itu bukan milik Kakek. Itu senjata milik
tentara Belanda yang kakek ambil.” Jelas Saron.
“Maksud Kakek?” tanya Hadi.
Ya, Saron dulunya adalah seorang pejuang yang sangat gagah,
dengan penuh semangat ia selalu ikut andil utuk berperang melawan tentara
Belanda.
“Pada masa itu...” Saron memulai ceritanya.
“Kakek sering ikut berperang melawan penjajah Belanda, ya
sekitar tahun 20-an. Kakek tidak bisa tinggal diam melihat penjajah Belanda
yang semakin semena-mena menindas rakyat Indonesia. Mereka hampir menguasai
seluruh perkebunan di daerah ini.”jelas Saron.
Pada awalnya Saron adalah seorang lelaki biasa yang menjadi
seorang mandor di perkebunan tebu daerah Bangil ini. Hasil panen tebu di
perkebunan ini semakin lama semakin banyak. Tentu saja hal ini membuat
orang-orang Belanda senang. Alhasil mereka mulai melakukan usaha untuk memiliki
lahan perkebunan seluas-luasnya dan dibeli dengan harga semurah-murahnya.
Orang-orang Belanda itu meminta bantuan kepada Carik Rembangdengan
diiming-imingi harta dan kekayaan. Akhirnya Carik Rembang pun tergiur dan ia
menyetujuinya. Ia selalu memaksa para pemilik kebun untuk menjual kebunnya
kepada Belanda dengan cara yang kejam dan sadis. Namun hal itu selalu
digagalkan oleh Saron hingga berkali-kali. Sehingga Carik Rembang itu pun
akhirnya melaporkan Saron kepada Belanda. Belanda pun mengutus Kadus, pemimpin
perusahaan, untuk membunuh Saron.
Hari itu ketika para pekerja sedang beristirahat, kadus
datang dengan para pengawalnya. Ia marah-marah dan menantang Saron. Saron yang
sudah mendengar hal itu sebelumnya pun naik darah.
“Baik, jika itu kemauanmu. Meskipun kau adalah saudara
sebangsaku namun kau adalah penghianat negeri, menindas saudara sendiri hanya
demi Belanda.” bentak Saron lantang. Saron pun akhirnya berhasil membunuh Kadus
dan para pengawalnya. Mulai saat itu ia diincar oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Ia menjadi buronan selama beberapa minggu.
Suatu hari ketika Saron berkunjung ke rumah ibunya bersama
istrinya, Mardah, ternyata tentara Belanda sudah mengikutinya. Ia diserang oleh
tentara-tentara Belanda itu, ia merasa takut karena ia bersama ibu dan istri
yang sangat ia sayangi. Ketakutan itu pun menjadi kenyataan, ibu dan istrinya
ditawan Belanda dan diancam akan dibunuh jika Saron tak menyerah. Saron tak
bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menuruti permintaan tentara Belanda itu
agar ibu dan istrinya selamat. Namun tentara Belanda memang licik, setelah
menangkap Saron, mereka tak melepaskan ibu dan istri Saron. Ibu dan istrinya
ikut ditahan namun di tempat yang berbeda dengan Saron.
Setelah beberapa hari Saron ditahan oleh Belanda, ia
mendengar berita bahwa ibu dan istrinya telah dibunuh oleh Belanda. Ia pun
berontak dan akhirnya secara diam-diam melarikan diri dari penjara serta ia
membawa senjata tentara Belanda yang berada di dekat penjara itu tanpa
sepengetahuan mereka.
Mulai saat itu ia menjadi lebih geram dan sangat dendam
terhadap Belanda. Ia menggunakan senapan yang ia ambil itu ketika berperang.
Namun ketika peluru senapan itu sudah tak ada lagi, ia menyimpan senjata itu
dan kembali menggunakan cluritnya untuk melawan Belanda. Saron selalu berhasil
ketika berperang melawan orang-orang Belanda. Ia seorang yang sangat tangguh.
Sepanjang hidupnya ia selalu berjuang melawan kekejaman dan penindasan Belanda.
Entah sudah berapa peperangan yang ia ikuti. Hal itu pun berlanjut hingga
pemerintahan Jepang yang jauh lebih kejam. Semangat juangnya tak pernah runtuh.
Ia tetap mengabdi untuk Indonesia sampai Indonesia dapat mengibarkan Sangsaka
Merah Putih dan Garuda bertengger di angkasa. Setelah Indonesia merdeka pun,
perjuangannya belum berakhir. Masih banyak penjajah-penjajah dari dalam negeri.
Seiring rapuhnya raga ia pun sudah tak sanggup lagi untuk
aktif seperti dulu lagi. Namun semangat juangnya tetap membara dalam jiwanya.
Kini perjuangannya adalah perjuangan melawan kehidupan yang amat keras tanpa
sanak saudara.
Begitu terlarut Hadi mendengar cerita Saron, decak kagum
terlukis di matanya.
“ Kakek benar-benar hebat, Hadi tak bisa membayangkan kalau
saja Hadi yang berada di masa itu.” tanggap Hadi.
“ hemm...” Saron tersenyum kecil
“Justru posisimu disaat ini lah yang lebih membutuhkan
perjuangan hebat. Karena saat ini perjuanganmu adalah melawan para pemimpinmu
sendiri yang dengan halus menjajah negeri sendiri.” jelas Saron.
“Iya Kek, Hadi paham, ternyata perjuangan bangsa Indonesia
belum berakhir. Jejak-jejak penjajahan itu masih terus merasuki jiwa-jiwa yang
tak sadar.” jawab Hadi.
“Baik Nak, teruslah berjuang untuk Bumi Pertiwi, teruskan
semangat juang kami!” kata Saron menambahkan.
Yah benar, perjuangan memang tak pernah berakhir. Berjuang
untuk kehidupan, dari hal-hal yang amat kecil bahkan yang tak orang lain
ketahui.
karya : Novi Dwi Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar